Senin, 09 Maret 2009

AJIP ROSIDI : “SOSOK ORANG SUNDA MODEREN?”

Sundanet• 14 Des 2004 • Kategori: Seni dan Budaya

Sebagai orang yang tidak pernah berinteraksi secara mendalam dengan Kang Ajip Rosidi (KAR), maka ketika diminta untuk memberi pandangan terhadap KAR, satu-satunya upaya yang bisa dilakukan adalah membaca buku-bukunya. Karena tinjauannya lebih kepada pemahaman terhadap sosok pribadi (bukan telaah karya sastra), maka pilihan jatuh kepada buku-buku karya KAR yang menurut KAR sendiri “jiga otobiografi atawa memoar” atau “panineungan”. Adapun buku-buku yang dianggap “jiga otobiografi atawa memoar” dan “panineungan” tersebut adalah : Hurip Waras (1988), Beber Layar (Cetakan ke 1 tahun 1964), Pancakaki (1993), Trang-trang Kolentrang (1999), Ucang-Ucang Angge (2000).
Setelah membaca buku-buku tersebut, kesimpulannya, KAR adalah sosok “orang Sunda moderen”. Sengaja kalimat “orang Sunda Moderen” disatukan di dalam satu tanda petik, karena apabila bicara orang Sunda yang ada dewasa ini bisa jadi banyak yang belum “moderen”, sementara kata moderen sendiri apabila tidak dikaitkan dengan kata-kata orang Sunda, akan mempunyai arti yang sangat luas yang pada tingkat tertentu dapat menghilangkan identitas “kasundaan”.
Ada beberapa kriteria yang digunakan untuk merujuk istilah “moderen” dalam kaitannya dengan orang Sunda disini. Pertama, adalah perhatian, “kanyaah” dan bahkan “prak”nya “ngamumule” kebudayaan Sunda. Sebagai orang Sunda “pituin”, tanggung jawab dan “kanyaah” KAR kepada budaya Sunda tidak dapat diragukan lagi. Walaupun KAR mulai berkiprah di dunia sastra Sunda setelah terlebih dahulu menggeluti sastra Indonesia, namun pada perkembangan berikutnya perhatian, kerja nyata dan yang lebih penting lagi kontinyuitas untuk “ngamumule” budaya Sunda khususnya sastra Sunda berlangsung terus sampai hari ini.
Selain menulis karya sastra Sunda nya sendiri, tulisan-tulisan KAR mengenai sastra Sunda, baik berupa pemikiran, kritik, ulasan mengalir terus sampai saat ini. Buku Beber Layar, sebagai kumpulan karangan yang ditulis oleh KAR pada saat berusia antara 18 sampai 22 tahun, substansinya masih tetap “up to date”.
Walaupun bermukim di Jepang, KAR masih bisa melakukan kegiatan-kegiatan nyata untuk Ki Sunda dalam bentuk pemberian hadiah sastra Rancage, Kongres Internasional Budaya Sunda, membuat penerbitan berbahasa Sunda (yang paling monumental: membuat ensiklopedi Sunda) dan kegiatan “kasundaan” lainnya. Suatu aktifitas yang langka dilakukan baik, oleh orang-orang dari suku lain tentang budayanya dan oleh orang-orang Sunda sendiri yang ada di kampung halamannya. Untuk hadiah sastra Rancage, selain sudah teruji kontinyuitasnya sejak tahun 1989 (di Indonesia konon tidak pernah ada pemberian hadiah sastra yang berlangsung secara berkesinambungan seperti Rancage), juga yang tidak kalah pentingnya, hadiah sastra Rancage tersebut bukan hanya untuk sastra Sunda tetapi juga untuk sastra Jawa dan Bali.
Pemberian perhatian yang bukan hanya untuk sastra Sunda ini menunjukkan bahwa KAR tidak termasuk kepada orang yang “etnocentris”, provinsialis atau sukuisme dalam arti sempit. Karena itu, kriteria ke dua untuk menunjuk kemoderenan KAR adalah ke- Indonesiaan. Kiprah KAR di dalam dunia sastra Indonesia sudah dimulai sejak SMP. Karena kiprahnya dalam kesusasteraan Indonesia itulah, pada usia yang sangat belia (16 tahun) sudah bisa mengikuti Kongres Kebudayaan di Solo, dengan ongkos yang diberikan secara khusus oleh Mr. Muhammad Yamin yang kala itu menjadi Menteri PP dan K (Hurip Waras, hal 50). Selain daripada itu, pada usia yang cukup muda pula (19 tahun) KAR mendapat Hadiah Sastra Nasional pada Kongres Kebudayaan tahun 1957 di Denpasar. Kiprah di tingkat nasional ini berlanjut diantaranya menjadi redaksi PN Balai Pustaka (1955-1956), Ketua Dewan Kesenian Jakarta, Ketua IKAPI, Staf Ahli Menteri P&K dsb. Selain dari pada itu karya-karya KAR juga sudah diterjemahkan dan diterbitkan ke dalam bahasa Inggris, Perancis, Belanda, Hindi, Jepang, Rusia dan Cina.
Rasa cintanya terhadap tanah air, diantaranya diwujudkan dalam bentuk tulisan yang dikumpulkannya di dalam buku “Trang trang Kolentrang” : Politik Reformasi Dina Surat - surat ti Jepang. Disini kita pun melihat bahwa perhatian KAR terhadap dunia politik sangat besar.
Kriteria kemoderenan KAR yang ke tiga, adalah “go international”. Pengertian “go international” disini tidak hanya diukur oleh kehadiran fisik, tetapi yang juga tidak kalah pentingnya adalah pemahaman pemikiran yang berkembang di dunia internasional. Sebagai budayawan “moyan”, KAR sudah sejak muda bergelut dengan pemikiran-pemikiran para pemikir Barat baik melalui bacaan maupun melalui diskusi dengan para sastrawan/pemikir saat itu. Kedudukannya sebagai profesor tamu di Osaka Jepang sejak tahun 1981 lebih memantapkan dirinya sebagai manusia “internasional”.
Kalaulah inti dari tulisan ini mengemukakan bahwa KAR adalah sosok manusia Sunda moderen, dengan dua kriteria terakhir pengertiannya adalah, walaupun KAR sudah berkecimpung di dunia nasional dan internasional, namun ciri-ciri bahkan kiprahnya di dalam “kasundaan” tidaklah surut. KAR bukan saja bisa “pindah cai - pindah tampian”, tetapi lebih jauh dari itu kiprahnya di dunia nasional dan internasional justru bisa lebih memberikan kontrbusi yang lebih positif terhadap “kasundaan”. Padahal banyak orang yang menyebutkan bahwa pada umumnya para “gegeden” Sunda itu “hapa” budaya. Jangankan jauh-jauh yang tinggal/hidup di Jakarta atau di luar negeri, mereka yang hidup dan tinggal di Bandung saja perhatiannya terhadap budaya Sunda ini sangat kurang.
Keempat, karena antara Islam - Sunda dengan Sunda - Islam, sering disatu nafaskan, maka di dalam konteks modernitas manusia Sunda, unsur-unsur ke Islaman tidak boleh ditinggalkan. Artinya semoderen apapun orang Sunda, apabila masih ingin disebut orang Sunda, maka di luar tanggung jawabnya terhadap “kasundaan”, ciri dan prilaku ke-Islamannyapun harus tetap nampak. Walaupun pada awalnya (ketika kelas II SMP) KAR senang “fifilsfatan” tentang eksistensi Tuhan, tapi prilaku ke-Islaman KAR juga “kelihatannya” cukup “leket?”. Sebagaimana kebanyakan orang Sunda, walaupun KAR sudah beragama Islam sejak lahir, namun pemahaman tentang Islam dimulai lagi melalui proses pencarian, terutama setelah membaca karya-karya HHM. Kedekatannya dengan beberapa tokoh Pelajar Islam Indonesia (PII) Jawa Barat (ketika sekretariatnya masih di Gg.Asmi) seperti Mang Endang Sjaefudin Anshari atau Kang Josef (yang kemudian jadi besannya), sedikit banyak menambah pemahaman tentang Islam itu sendiri.
Sikap KAR tentang keterkaitan antara Sunda dengan Islam diantaranya :
“sadar kana kaetnisan budayana nu Sunda sabada leuwih ti heula ngarasa jadi muslim, justru kudu mageuhan adeg-adegna nu nyumber kana ajen-inajen ka Islaman, tapi oge baris ngabeungharan warna budaya umat. Neuleuman jeung neangan ajen-inajen ka Sundaan tanwande baris nambahan kakayaan budaya umat”.
Untuk urusan ke - Islaman ini, salah satu “peristiwa budaya” penting ketika KAR menjadi ketua DKJ adalah pembangunan mesjid Amir Hamzah di Taman Ismail Marzuki.
Kelima, unsur kerja keras. Prof. Herman Soewardi di dalam berbagai kesempatan seringkali mengemukakan bahwa salah satu ciri bangsa Indonesia (termasuk suku Sunda) adalah lemah karsa, dalam pengertian bahwa kalaupun bekerja seringkali tidak “junun”. Sebagaimana dikemukakan di atas, bahwa untuk kasus KAR, aspek kinerja yang “memble” ini ditemukan. KAR bisa disebut sebagai pekerja keras dan mempunyai semangat kerja yang tinggi. Ketika di SMA saja, walaupun KAR masuk ke sekolah B, namun karena keingin tahuan yang besar mengenai keseustraan yang mengebu-gebu, siang harinya KAR sekolah di SMA Perjoangan. Sampai saat ini bisa jadi belum ada orang Sunda yang karyanya sebanyak yang dibuat oleh KAR. Kalaulah salah satu ciri dari sosok manusia moderen itu profesianal, dalam pengertian ahli dan kompeten maka KAR sudah termasuk post_category ini.
Untuk karya-karyanya dalam bentuk memoar, perlu mendapat apresiasi secara khusus. Karya-karya tersebut mengandung banyak hal yang dapat dikatagorikan sebagai sejarah kontemporer. Dalam hal ini KAR menjadi saksi hidup dari suatu proses yang terjadi di dalam sejarah. Selama ini pelajaran sejarah seringkali hanya menunjukkan kejadian-kejadian yang kadangkala kering dari aspek “human interest”. Memoar KAR bisa menjadi pelengkap tentang apa-apa yang terjadi di balik panggung sejarah.
Karena bentuknya memoar, maka pada tataran tertentu perlu dilakukan pendalaman. Tugas itu tentu saja tidak bisa dibebankan kepada KAR. Dalam konteks memoar, KAR dapat disebut sebagai pembuka jalan. Sebagai contoh, di luar apa yang ditulis KAR tentang Kongres Pemuda Sunda dan “setting” sosialnya sehingga kongres tersebut dilaksanakan, sampai saat ini belum ada lagi buku yang membeberkan secara tuntas, gamblang dan ilmiah tentang hal itu (terutama tentang Pergerakan Sunda pada akhir tahun lima puluhan). Akibat dari “kekosongan” sejarah ini, hampir selama periode Orde Baru (bahkan mungkin sampai sekarang), banyak orang Sunda yang merasa menanggung dosa warisan, dari suatu perjalanan sejarah Ki Sunda yang tidak jelas kejadiannya.
Karena kejelian dan kerajinannya mengumpulkan bahan-bahan, KAR bisa disebut sebagai “arsip hidup” Ki Sunda terlengkap saat ini. Di luar hal-hal yang sudah diungkapkannya saat ini (dalam bentuk buku), bisa jadi masih banyak hal lain yang perlu kita korek. Sebagai contoh, walaupun di dalam buku “Ucang-ucang Angge”, KAR menceriterakan ketokohan Prof. Dr. Doddy A. Tisnaamidjaja, namun isinya berbicara pula tentang hiruk pikuk pemilihan Gubernur Jawa Barat pada tahun 1967 (kejadiannya hampir mirip dengan pemilihan Gubernur Jawa Barat saat ini). Ketika membicarakan Ilen Surianegara, walaupun sepintas kita diajak untuk mengetahui polemik di sekitar naskah Wangsakerta. Demikian pula halnya dengan tulisan yang diberi judul RHM. Akil Prawiradiredja ( berkaitan dengan pemilihan Wagub), atau tentang Dajat Hardjakusumah yang selain berbicara tentang dunia kewartawanan saat itu, juga berbicara tentang situasi di sekitar kejadian G30S/PKI.
Melihat kejelian dan kerajinan membuat memoar yang notabene sejarah ini dengan sangat tepat di dalam jilid luar bagian belakang dari buku Ucang-ucang Angge diungkapkan:
“Lain wae kudu dideudeul data anu akurat, tapi deuih kudu panjang ingetan. Heueuh, mun urang aya karep nulis memoar, boh ngeunaan peristiwa boh ngeunaan kahirupan sajumlahing tokoh; kawas anu dipidangkeun dina ieu buku. Hamo bisa mun ukur ngandelkeun data meunang ngalelebah mah, komo mun bari geus loba poho”
“Naon-naon wae anu dipidangkeun dina ieu buku, lain wae ukur ngasongkeun rupa-rupa informasi ngeunaan sajumlahing tokoh katut patalina sareng rupa-rupa peristiwa, tapi deuih bisa dijadikeun eunteung tuladaneun”
Upaya mengemukakan keadaan juga dilakukannya dengan cara menulis surat kepada sahabat-sahabatnya. Walaupun dalam bentuk surat yang pendek, namun dengan surat itu KAR bisa mengungkapkan situasi dan juga pemikiran-pemikiran KAR tentang berbagai hal.
Ke enam, jaringan pertemanan. Teori-teori manajemen moderen menyebutkan bahwa unsur jaringan (net working) adalah merupakan salah satu faktor penting di dalam mencapai keberhasilan. Apabila membaca memoar KAR, dapat diketahui bahwa kenalan KAR sangat banyak dan dari berbagai kalangan. Sudah sejak kecil, KAR bergaul dengan para tokoh di bidang sastra, pemerintahan, tokoh agama, tokoh pendidikan, tokoh politik dsb. Inti pertemanan selain silaturahmi juga untuk menambah wawasan tentang sesuatu. Dari memoar yang dibuat oleh KAR, pertemanan KAR dengan orang-orang yang ditulisnya di dalam memoar tersebut, ternyata tidak hanya sebatas kenal (wawuh munding), tetapi lebih dari itu.
Walaupun teman-temannya cukup banyak dan sangat akrab, tetapi di dalam hal-hal yang dianggap prinsip, KAR bisa sangat kritis. Oleh karena itu perjalanan hidup KAR seringkali ditandai dengan percikan-percikan konflik yang kadangkala sangat terbuka. Untuk ukuran budaya Sunda - bahkan mungkin untuk budaya Barat sekalipun, kritik-kritik yang dilakukan oleh KAR seringkali dirasakan sangat tajam. Sebagai contoh, kritikannya terhadap Pak Ilen Surianegara, Pak Mashudi atau kepada Prof. Achmad Sanusi. Pada awalnya sikap KAR seperti itu, diperkirakan terpengaruh (seperti agama) oleh teman-temannya di PII yang juga seringkali prinsipalis. Namun, setelah membaca otobiografi dan memoarnya, ternyata sikap kritis tersebut sudah ada sejak masa kecilnya. Sebagai contoh, ketika SMP, KAR pernah diusir oleh guru bahasa Indonesia, karena dianggap sok pintar. Pada perkembangan berikutnya, kitapun bisa melihat “dedegler” nya KAR di dalam mensikapi berbagai masalah sastra Sunda setelah perang (baca: Beber Layar) atau kritik terhadap LBSS di media masa pada tahun sembilan puluhan.
Kalaulah dianggap sebagai “kekurangan” maka hal tersebut bisa dianggap sebagai kekurangan KAR. Atau kalau berfikirnya positif, yang salah itu bukanlah KAR, tetapi orang Sunda pada umumnya, yang belum siap berbeda pendapat secara terbuka.
Terlepas apakah itu kekurangan atau bukan, hal penting yang perlu ditelusuri, bagaimana Ki Sunda bisa melahirkan salah satu rundayannya menjadi KAR?. Apabila membaca Hurip Waras, inti dari keberhasilan KAR dimulai dari “resep maca”. Karena salah satu strategi penting yang harus dibangun ke depan adalah membuka ruang dan memperbanyak buku bacaan agar sejak dini, anak-anak menyenangi bacaan - termasuk bacaan berbahasa Sunda.Memang ketika ruang itu dibuka, jangan harap semua orang bisa memanfaatkannya, karena dari Jatiwangi juga hanya lahir seorang KAR. Tetapi pengalaman-pengalaman negara maju menunjukkan bahwa dengan dibukanya “ruang” bagi masyarakat untuk rajin membaca, peluang melahirkan orang-orang seperti KAR menjadi semakin besar. Ternyata dengan rajin membaca, orang tidak kalah pinternya dengan yang memiliki ijasah sekalipun (apalagi kalau ijasahnya bukan dari hasil belajar yang sungguh-sungguh).
Kedua, kebiasaan KAR ketika kecil untuk nonton kesenian (wayang kulit), membawa bekas sehingga melahirkan benih-benih rasa bertanggung jawab terhadap eksistensi kesenian. Selain daripada itu, karena sejak kecil sudah hafal kepada konvensi ceritera wayang, sedikit banyak ceritera-ceritera itu telah pula membantu membangun runtuyan logika berfikir dan mengembangkan imajinasi.
Ketiga, apakah lahirnya KAR seperti sekarang ini sesuai juga dengan sinyalemen KAR: bahwa agar orang Sunda maju, harus keluar (berada) dari luar tatar Sunda? (sehingga KAR pun akan menghabiskan masa tuanya di luar tatar Sunda?).
Dengan menulis catatan singkat ini, ada suatu perjalanan pemikiran yang berujung pada pemahaman: “bahwa untuk menjadi moderen, manusia tidak perlu kehilangan ciri-ciri etnisitas dan keagamaannya” atau bisa disebutkan bahwa: “aspek etnisitas dan keagamaan termasuk merupakan ciri pelengkap yang tidak dapat dipisahkan dari kemoderenian seseorang” (selama ini secara sosiologis antara modern dan tradisi termasuk agama sering dibuat dikhotomi).
Berbahagialah orang Sunda, karena telah memiliki tokoh sekaliber Ajip Rosidi. Hatur nuhun Kang Ajip. Panjang umur, istiqomah, khusnul khotimah dan terus berkarya. Untuk ke depan diharapkan ada yang dapat menulis tentang KAR secara lebih lengkap, mendalam dan kritis.
Cigadung, 27 Mei 2003

Sabtu, 07 Maret 2009

Kerajaan Sunda

Dari Wikipedia bahasa Indonesia, ensiklopedia bebas

Wilayah bekas Kerajaan Sunda
Kerajaan Sunda (
669-1579 M), menurut naskah Wangsakerta merupakan kerajaan yang berdiri menggantikan kerajaan Tarumanagara. Kerajaan Sunda didirikan oleh Tarusbawa pada tahun 591 Caka Sunda (669 M). Menurut sumber sejarah primer yang berasal dari abad ke-16, kerajaan ini merupakan suatu kerajaan yang meliputi wilayah yang sekarang menjadi Provinsi Banten, Jakarta, Provinsi Jawa Barat , dan bagian barat Provinsi Jawa Tengah.
Berdasarkan naskah kuno primer
Bujangga Manik (yang menceriterakan perjalanan Bujangga Manik, seorang pendeta Hindu Sunda yang mengunjungi tempat-tempat suci agama Hindu di Pulau Jawa dan Bali pada awal abad ke-16), yang saat ini disimpan pada Perpustakaan Boedlian, Oxford University, Inggris sejak tahun 1627), batas Kerajaan Sunda di sebelah timur adalah Ci Pamali ("Sungai Pamali", sekarang disebut sebagai Kali Brebes) dan Ci Serayu (yang saat ini disebut Kali Serayu) di Provinsi Jawa Tengah.
Tome Pires (
1513) dalam catatan perjalanannya, Suma Oriental (1513 – 1515), menyebutkan batas wilayah Kerajaan Sunda di sebelah timur sebagai berikut:

Sementara orang menegaskan bahwa kerajaan Sunda meliputi setengah pulau Jawa. Sebagian orang lainnya berkata bahwa Kerajaan Sunda mencakup sepertiga Pulau Jawa ditambah seperdelapannya lagi. Katanya, keliling Pulau Sunda tiga ratus legoa. Ujungnya adalah Ci Manuk.

Menurut
Naskah Wangsakerta, wilayah Kerajaan Sunda mencakup juga daerah yang saat ini menjadi Provinsi Lampung melalui pernikahan antara keluarga Kerajaan Sunda dan Lampung. Lampung dipisahkan dari bagian lain kerajaan Sunda oleh Selat Sunda.

[1] Hubungan Kerajaan Sunda dengan Eropa

Kerajaan Sunda sudah lama menjalin hubungan dagang dengan bangsa Eropa saperti Inggris, Perancis dan Portugis. Kerajaan Sunda malah pernah menjalin hubungan politik dengan bangsa Portugis. Dalam tahun 1522, Kerajaan Sunda menandatangani Perjanjian Sunda-Portugis yang membolehkan orang Portugis membangun benteng dan gudang di pelabuhan Sunda Kelapa. Sebagai imbalannya, Portugis diharuskan memberi bantuan militer kepada Kerajaan Sunda dalam menghadapi serangan dari Demak dan Cirebon (yang memisahkan diri dari Kerajaan Sunda).

[2] Sejarah

Sebelum berdiri sebagai kerajaan yang mandiri, Sunda merupakan bawahan Tarumanagara. Raja Tarumanagara yang terakhir, Sri Maharaja Linggawarman Atmahariwangsa Panunggalan Tirthabumi (memerintah hanya selama tiga tahun, 666-669 M), menikah dengan Déwi Ganggasari dari Indraprahasta. Dari Ganggasari, beliau memiliki dua anak, yang keduanya perempuan. Déwi Manasih, putri sulungnya, menikah dengan Tarusbawa dari Sunda, sedangkan yang kedua, Sobakancana, menikah dengan Dapuntahyang Sri Janayasa, yang selanjutnya mendirikan kerajaan Sriwijaya. Setelah Linggawarman meninggal, kekuasaan Tarumanagara turun kepada menantunya, Tarusbawa. Hal ini menyebabkan penguasa Galuh, Wretikandayun (612-702) memberontak, melepaskan diri dari Tarumanagara, serta mendirikan Galuh yang mandiri. dari pihak Tarumanagara sendiri, Tarusbawa juga menginginkan melanjutkan kerajaan Tarumanagara. Tarusbawa selanjutnya memindahkan kekuasaannya ke Sunda, sedangkan Tarumanagara diubah menjadi bawahannya. Beliau dinobatkan sebagai raja Sunda pada hari Radite Pon, 9 Suklapaksa, bulan Yista, tahun 519 Saka (kira-kira 18 Mei 669 M). Sunda dan Galuh ini berbatasan, dengan batas kerajaanya yaitu sungai Citarum (Sunda di sebelah barat, Galuh di sebelah timur).

[3] Kerajaan kembar

Putera Tarusbawa yang terbesar, Rarkyan Sundasambawa, wafat saat masih muda, meninggalkan seorang anak perempuan, Nay Sekarkancana. Cucu Tarusbawa ini lantas dinikahi oleh Rahyang Sanjaya dari Galuh, sampai mempunyai seorang putera, Rahyang Tamperan. Saat Tarusbawa meninggal (tahun 723), kekuasaan Sunda jatuh ke Sanjaya, yang di tahun itu juga berhasil merebut kekuasaan Galuh dari Rahyang Purbasora (yang merebut kekuasaan Galuh dari ayahnya, Bratasenawa/Rahyang Séna). Oleh karena itu, di tangan Sanjaya, Sunda dan Galuh bersatu kembali. Untuk meneruskan kekuasaan ayahnya yang menikah dengan puteri raja Keling (Kalingga), tahun 732 Sanjaya menyerahkan kekuasaan Sunda-Galuh ke puteranya, Tamperan. Di Keling, Sanjaya memegang kekuasaan selama 22 tahun (732-754), yang kemudian diganti oleh puteranya dari Déwi Sudiwara, Rarkyan Panangkaran.
Rahyang Tamperan berkuasa di Sunda-Galuh selama tujuh tahun (732-
739), lalu membagi kekuasaan pada dua puteranya: Sang Manarah (dalam carita rakyat disebut Ciung Wanara) di Galuh serta Sang Banga (Hariang Banga) di Sunda. Sang Banga (Prabhu Kertabhuwana Yasawiguna Hajimulya) menjadi raja selama 27 tahun (739-766), tapi hanya menguasai Sunda dari tahun 759.
Dari Déwi Kancanasari, keturunan Demunawan dari
Saunggalah, Sang Banga mempunyai putera, bernama Rarkyan Medang, yang kemudian meneruskan kekuasaanya di Sunda selama 17 tahun (766-783) dengan gelar Prabhu Hulukujang. Karena anaknya perempuan, Rakryan Medang mewariskan kekuasaanya kepada menantunya, Rakryan Hujungkulon atau Prabhu Gilingwesi (dari Galuh, putera Sang Mansiri), yang menguasai Sunda selama 12 tahun (783-795). Karena Rakryan Hujungkulon inipun hanya mempunyai anak perempuan, maka kekuasaan Sunda lantas jatuh ke menantunya, Rakryan Diwus (dengan gelar Prabu Pucukbhumi Dharmeswara) yang berkuasa selama 24 tahun (795-819). Dari Rakryan Diwus, kekuasaan Sunda jatuh ke puteranya, Rakryan Wuwus, yang menikah dengan putera dari Sang Welengan (raja Galuh, 806-813). Kekuasaan Galuh juga jatuh kepadanya saat saudara iparnya, Sang Prabhu Linggabhumi (813-842), meninggal dunia. Kekuasaan Sunda-Galuh dipegang oleh Rakryan Wuwus (dengan gelar Prabhu Gajahkulon) sampai ia wafat tahun 891.
Sepeninggal Rakryan Wuwus, kekuasaan Sunda-Galuh jatuh ke adik iparnya dari Galuh, Arya Kadatwan. Hanya saja, karena tidak disukai oleh para pembesar dari Sunda, ia dibunuh tahun
895, sedangkan kekuasaannya diturunkan ke putranya, Rakryan Windusakti. Kekuasaan ini lantas diturunkan pada putera sulungnya, Rakryan Kamuninggading (913). Rakryan Kamuninggading menguasai Sunda-Galuh hanya tiga tahun, sebab kemudian direbut oleh adikna, Rakryan Jayagiri (916). Rakryan Jayagiri berkuasa selama 28 tahun, kemudian diwariskan kepada menantunya, Rakryan Watuagung, tahun 942. Melanjutkan dendam orangtuanya, Rakryan Watuagung direbut kekuasaannya oleh keponakannya (putera Kamuninggading), Sang Limburkancana (954-964). Dari Limburkancana, kekuasaan Sunda-Galuh diwariskan oleh putera sulungnya, Rakryan Sundasambawa (964-973). Karena tidak mempunyai putera dari Sundasambawa, kekuasaan tersebut jatuh ke adik iparnya, Rakryan Jayagiri (973-989).
Rakryan Jayagiri mewariskan kekuasaannya ka puteranya, Rakryan Gendang (989-
1012), dilanjutkan oleh cucunya, Prabhu Déwasanghyang (1012-1019). Dari Déwasanghyang, kekuasaan diwariskan kepada puteranya, lalu ke cucunya yang membuat prasasti Cibadak, Sri Jayabhupati (1030-1042). Sri Jayabhupati adalah menantu dari Dharmawangsa Teguh dari Jawa, mertua raja Erlangga (1019-1042).
Dari Sri Jayabhupati, kekuasaan diwariskan kepada putranya, Dharmaraja (1042-
1064), lalu ke cucu menantunya, Prabhu Langlangbhumi ((1064-1154). Prabu Langlangbhumi dilanjutkan oleh putranya, Rakryan Jayagiri (1154-1156), lantas oleh cucunya, Prabhu Dharmakusuma (1156-1175). Dari Prabu Dharmakusuma, kekuasaan Sunda-Galuh diwariskan kepada putranya, Prabhu Guru Dharmasiksa, yang memerintah selama 122 tahun (1175-1297). Dharmasiksa memimpin Sunda-Galuh dari Saunggalah selama 12 tahun, tapi kemudian memindahkan pusat pemerintahan kepada Pakuan Pajajaran, kembali lagi ke tempat awal moyangnya (Tarusbawa) memimpin kerajaan Sunda.
Sepeninggal Dharmasiksa, kekuasaan Sunda-Galuh turun ke putranya yang terbesar, Rakryan Saunggalah (Prabhu Ragasuci), yang berkuasa selama enam tahun (
1297-1303). Prabhu Ragasuci kemudian diganti oleh putranya, Prabhu Citraganda, yang berkuasa selama delapan tahun(1303-1311), kemudian oleh keturunannya lagi, Prabu Linggadéwata (1311-1333). Karena hanya mempunyai anak perempuan, Linggadéwata menurunkan kekuasaannya ke menantunya, Prabu Ajiguna Linggawisésa (1333-1340), kemudian ke Prabu Ragamulya Luhurprabawa (1340-1350). Dari Prabu Ragamulya, kekuasaan diwariskan ke putranya, Prabu Maharaja Linggabuanawisésa (1350-1357), yang di ujung kekuasaannya gugur di Bubat (baca Perang Bubat). Karena saat kejadian di Bubat, putranya -- Niskalawastukancana -- masih kecil, kekuasaan Sunda sementara dipegang oleh Patih Mangkubumi Sang Prabu Bunisora (1357-1371).

Prasasti Kawali di Kabuyutan Astana Gedé, Kawali, Ciamis.
Sapeninggal Prabu Bunisora, kekuasaan kembali lagi ke putra Linggabuana, Niskalawastukancana, yang kemudian memimpin selama 104 tahun (1371-
1475). Dari isteri pertama, Nay Ratna Sarkati, ia mempunyai putera Sang Haliwungan (Prabu Susuktunggal), yang diberi kekuasaan bawahan di daerah sebelah barat Citarum (daerah asal Sunda). Prabu Susuktunggal yang berkuasa dari Pakuan Pajajaran, membangun pusat pemerintahan ini dengan mendirikan keraton Sri Bima Punta Narayana Madura Suradipati. Pemerintahannya terbilang lama (1382-1482), sebab sudah dimulai saat ayahnya masih berkuasa di daerah timur.
Dari Nay Ratna Mayangsari, istrinya yang kedua, ia mempunyai putera Ningratkancana (Prabu Déwaniskala), yang meneruskan kekuasaan ayahnya di daerah Galuh (
1475-1482).
Susuktunggal dan Ningratkancana menyatukan ahli warisnya dengan menikahkan Jayadéwata (putra Ningratkancana) dengan Ambetkasih (putra Susuktunggal). Tahun 1482, kekuasaan Sunda dan Galuh disatukan lagi oleh Jayadéwata (yang bergelar Sri Baduga Maharaja). Sapeninggal Jayadéwata, kekuasaan Sunda-Galuh turun ke putranya, Prabu Surawisésa (
1521-1535), kemudian Prabu Déwatabuanawisésa (1535-1543), Prabu Sakti (1543-1551), Prabu Nilakéndra (1551-1567), serta Prabu Ragamulya atau Prabu Suryakancana (1567-1579). Prabu Suryakancana ini merupakan pemimpin kerajaan Sunda-Galuh yang terakhir, sebab setelah beberapa kali diserang oleh pasukan dari Kesultanan Banten, di tahun 1579 kekuasaannya runtuh.

[4] Raja-raja Kerajaan Sunda

Di bawah ini deretan raja-raja yang pernah memimpin Kerajaan Sunda menurut naskah Pangéran Wangsakerta (waktu berkuasa dalam tahun Masehi):
Tarusbawa (menantu
Linggawarman, 669 - 723)
Harisdarma, atawa
Sanjaya (menantu Tarusbawa, 723 - 732)
Tamperan Barmawijaya (732 -
739)
Rakeyan Banga (739 -
766)
Rakeyan Medang Prabu Hulukujang (766 -
783)
Prabu Gilingwesi (menantu Rakeyan Medang Prabu Hulukujang, 783 -
795)
Pucukbumi Darmeswara (menantu Prabu Gilingwesi, 795 -
819)
Rakeyan Wuwus Prabu Gajah Kulon (819 -
891)
Prabu Darmaraksa (adik ipar Rakeyan Wuwus, 891 -
895)
Windusakti Prabu Déwageng (895 -
913)
Rakeyan Kamuning Gading Prabu Pucukwesi (913 -
916)
Rakeyan Jayagiri (menantu Rakeyan Kamuning Gading, 916 -
942)
Atmayadarma Hariwangsa (942 -
954)
Limbur Kancana (putera Rakeyan Kamuning Gading, 954 -
964)
Munding Ganawirya (964 -
973)
Rakeyan Wulung Gadung (973 -
989)
Brajawisésa (989 -
1012)
Déwa Sanghyang (1012 -
1019)
Sanghyang Ageng (1019 -
1030)
Sri Jayabupati (Detya Maharaja, 1030 -
1042)
Darmaraja (Sang Mokténg Winduraja, 1042 -
1065)
Langlangbumi (Sang Mokténg Kerta, 1065 -
1155)
Rakeyan Jayagiri Prabu Ménakluhur (1155 -
1157)
Darmakusuma (Sang Mokténg Winduraja, 1157 -
1175)
Darmasiksa Prabu Sanghyang Wisnu (1175 -
1297)
Ragasuci (Sang Mokténg Taman, 1297 -
1303)
Citraganda (Sang Mokténg Tanjung, 1303 -
1311)
Prabu Linggadéwata (1311-
1333)
Prabu Ajiguna Linggawisésa (1333-
1340)
Prabu Ragamulya Luhurprabawa (1340-
1350)
Prabu Maharaja Linggabuanawisésa (yang gugur dalam
Perang Bubat, 1350-1357)
Prabu Bunisora (1357-
1371)
Prabu Niskalawastukancana (1371-
1475)
Prabu Susuktunggal (1475-
1482)
Jayadéwata (Sri Baduga Maharaja, 1482-
1521)
Prabu Surawisésa (1521-
1535)
Prabu Déwatabuanawisésa (1535-
1543)
Prabu Sakti (1543-
1551)
Prabu Nilakéndra (1551-
1567)
Prabu Ragamulya atau Prabu Suryakancana (1567-
1579)






(5) Rujukan

Aca. 1968. Carita Parahiyangan: naskah titilar karuhun urang Sunda abad ka-16 Maséhi. Yayasan Kabudayaan Nusalarang, Bandung.
Ayatrohaedi. 2005. Sundakala: cuplikan sejarah Sunda berdasarkan naskah-naskah "Panitia Wangsakerta" dari Cirebon. Pustaka Jaya, Jakarta.
Edi S. Ekajati. 2005. Polemik Naskah Pangeran Wangsakerta. Pustaka Jaya, Jakarta. ISBN 979-419-329-1
Yoséph Iskandar. 1997. Sejarah Jawa Barat: yuganing rajakawasa. Geger Sunten, Bandung.
Diperoleh dari "
http://id.wikipedia.org/wiki/Kerajaan_Sunda"

Selasa, 10 Februari 2009

Kerajaan-kerajaan di Tanah Sunda

Dari Wikipedia bahasa Indonesia, ensiklopedia bebas
Langsung ke:
navigasi, cari

Wilayah bekas Kerajaan-kerajaan Sunda
Kerajaan-kerajaan di Tanah Sunda merujuk kepada kerajaan-kerajaan yang pernah ada di
Tanah Sunda (wilayah bagian barat pulau Jawa) pada masa lalu sebelum berdirinya Republik Indonesia pada tahun 1945. Kerajaan-kerajaan di Tanah Sunda terdiri dari:
Salakanagara
Tarumanagara (beribukota di Chandrabhaga/Bekasi & Sundapura)
Kerajaan Sunda (disebut juga Sunda-Galuh, berikbukota di Pakuan Pajajaran; Saunggalah dan Kawali)
Kesultanan Banten, Kesultanan Cirebon & Kerajaan Islam Sumedang Larang

Daftar isi
1 Salakanagara
2 Tarumanagara
3 Kerajaan Sunda
4 Kesultanan Banten
5 Kesultanan Cirebon
6 Kerajaan Islam Sumedang Larang
7 Rujukan
8 Lihat pula
//

[
1] Salakanagara
Artikel utama untuk bagian ini adalah: Salakanagara
Menurut naskah “Pustaka Rayja-rayja I Bhumi Nusantara”, kerajaan di pulau Jawa adalah Salakanagara (artinya: negara perak). Salakanagara didirikan pada tahun 52 Saka (130/131 Masehi). Lokasi kerajaan tersebut dipercaya berada di Teluk Lada, kota
Pandeglang, kota yang terkenal dengan hasil logamnya (Pandeglang dalam bahasa Sunda merupakan singkatan dari kata-kata panday dan geulang yang artinya pembuat gelang). Dr. Edi S. Ekajati, sejarawan Sunda, memperkirakan bahwa letak ibukota kerajaan tersebut adalah yang menjadi kota Merak sekarang (merak dalam bahasa Sunda artinya "membuat perak"). Sebagain lagi memperkirakan bahwa kerajaan tersebut terletak di sekitar Gunung Salak, berdasarkan pengucapan kata "Salaka" dan kata "Salak" yang hampir sama.
[[Berkas:Prsasti_tugu.jpgthumbuprightprasasti yang berumur 1600 tahun yang berasal dari jaman Purnawarman, raja Tarumanagara, yang ditemukan di Kelurahan Tugu,
Jakarta. Adalah sangat mungkin bahwa Argyre atau Argyros pada ujung barat Iabadiou yang disebutkan Claudius Ptolemaeus Pelusiniensis (Ptolemy) dari Mesir (87-150 AD) dalam bukunya “Geographike Hypergesis” adalah Salakanagara.
Suatu laporan dari Cina pada tahun 132 menyebutkan Pien, raja Ye-tiau, meminjamkan stempel mas dan pita ungu kepada Tiao-Pien. Kata Ye-tiau ditafsirkan oleh G. Ferrand, seorang sejarawan Perancis, sebagai Javadwipa dan Tiao-pien merujuk kepada Dewawarman.
Kerajaan Salakanagara kemudian digantikan oleh kerajaan Tarumanagara.

[
2] Tarumanagara
Artikel utama untuk bagian ini adalah: Tarumanagara
Kerajaan Tarumanagara adalah antara abad keempat dan ketujuh. Catatan sejarah dari kerajaan tersebut yang berupa prasasti bertebaran di bagian barat pulau Jawa. Pelancong dari Cina juga menyebutkan keberadaan dari kerajaan ini. Sumber-sumber sejarah tersebut sepakat bahwa raja Tarumanagara yang paling kuat adalah raja Purnawarman, yang menaklukkan negara-negara di sekitarnya.

[
3] Kerajaan Sunda
Artikel utama untuk bagian ini adalah: Kerajaan Sunda
Kerajaan Sunda, yang disebut juga Kerajaan Sunda Galuh, adalah kerajaan yang pernah ada dan mencakup wilayah yang sekarang menjadi provinsi
Jawa Barat, bagian barat provinsi Jawa Tengah dan provinsi Lampung.

[
4] Kesultanan Banten
Artikel utama untuk bagian ini adalah: Kesultanan Banten
Dalam tahun 1524/1525,
Sunan Gunung Jati dari Cirebon bersama tentara Kesultanan Demak merebut pelabuhan Banten dari Kerajaan Sunda, dan mendirikan Kesultanan Banten yang menjadi sekutu Kesultanan Demak. Para penyebar agama Islam telah menyebarkan dan memperkenalkan Islam secara damai kepada masyarakat di Tanah Sunda, dan sebagai hasilnya masyarakat Sunda mayoritas menjadi pemeluk agama Islam.
Selama tahun 1552-1570,
Maulana Hasanudin memerintah sebagai sultan pertama dari Kesultanan Banten.
Kesultanan Banten mencapai masa keemasan pada awal sampai pertengahan abad ketujuh. Kesultanan Banten berlangsung selama 300 tahun (1526 – 1813 AD).

[
5] Kesultanan Cirebon
Artikel utama untuk bagian ini adalah: Kesultanan Cirebon
Kesultanan Cirebon didirikan pada abad ke enambelas. Kesultanan ini didirikan oleh Sunan Gunungjati.

[
6] Kerajaan Islam Sumedang Larang
Sejarah Sumedang Larang
Seorang resi keturunan dari Galuh datang ke sebuah kawasan di pinggiran sungai Cimanuk, daerah Cipaku, Kecamatan Darmaraja, Sumedang sekarang. Kehadiran Resi yang bernama Prabu Guru Aji Putih ini, membawa perubahan-perubahan dalam tata kehidupan masyarakat setempat, yaitu telah ada dan dirintisoleh Prabu Agung Cakrabuana sejak abada ke delapan.
Secara perlahan-lahan dusun-dusun sekitar pinggiran sungai Cimanuk diikat oleh struktur pemerintahan dan kemasyarakatan. hingga berdirilah Kerajaan Tembong Agung sebagai cikal bakal kerajaan tersebut di Kampung Muhara, Desa Leuwihideung, Kecamatan Darmaraja sekarang. Prabu Guru Aji Putih berputra Prabu Tajimalela. Menurut perbandingan generasi, dalam kropak 410, Prabu Tajimalela sejaman dengan tokoh Rgamulya (1340 - 1350) penguasa Kawali dan tokoh Suradewata, Ayahanda Batara Gunung bitung Majalengka.
Prabu Tajimalela naik tahta menggantikan ayahnya pada mangsa poek taun saka. Menurut Cerita rakyat, kepemimpinan Prabu Tajimalela sangat menaruh perhatian pada bidang pertanian di sepanjang tepian sungai Cimanuk, peternakan dipusatkan di paniis Cieunteung dan pemeliharaan ikan di Pengerucuk (Situraja).
Pada masa kekuasaan pernah terjadi pemberontakan disekitar Gunung Cakrabuana yang dilakukan oleh Gagak Sangkur. Terjadilah perang sengit antara wadia balad Gagak Sangkur dengan Prabu Tajimalela dengan kemenangan di pihak Prabu Tajimalela dan Gagak Sangkur dapat ditaklukan.
Gagak Sangkur menyatakan ingin mengabdi kepada Prabu Tajimalela. Kemudian dilantik menjadi patih. Setelah itu, untuk menyempurnakan ilmunya Prabu Tajimalela meninggalkan Keraton untuk melakukan tapabrata, untuk memperoleh petunjuk dan kukatan dari Yang Gaib, yang dikiaskan dalam ungkapan : Sideku sinuku tunggal mapat pancadria, diamparan boeh rarang, lelembutan ngajorang alam awang-awang, ngungsi angkeuhan nu can katimu.
Pada saat itulah kemudian ia tiba-tiba mengucapkan kata : Insun Medal Mandangan yang kemudian menjadi populer dengan sebutan Sumedang. Tahta kerajaan Sumedang Larang dari Prabu Tajimalela dilanjutkan oleh Prabu Gajah Agung, yang berkedudukan di pinggir kali Cipeles dengan gelar Prabu Pagulingan sehingga darah tersbut saat ini di kenal sebagai nama Ciguling termasuk wilayah Kecamatan Sumedang Selatan. Prabu Pagulingan digantikan oleh putranya dengan Sunan Guling. Beliau berputra bernama Ratnasih alias Nyi Rajamantri diperistri oleh Sribaduga Maharaja karena itu yang menggantikan Sunan Guling adalah adik Ratu Ratnasih bernama Mertalaya sebagai penguasa ke empat Sumedang Larang yang juga bergelar Sunan Guling.
Sunan Guling digantikan putranya Tirta Kusumah yang dikenal dengan nama Sunan Patuakan. Kemudian digantikan oleh adiknya Sintawati atau lebih dikenal dengan Nyi Mas Patuakan. Ratu Sintawati berjodoh dengan Sunan Gorenda, Raja Talaga putra Ratu Simbar Kecana dari Kusumalaya, putra Dea Biskala. Dengan demikian ia menjadi cucu menantu penguasa Galuh.
Sunan Gorenda mempunyai dua istri : Mayangsari Langlangbuana dari Kuningan dan Sintawati dari Sumedang. Dari Sintawati putri sulung Sunan Guling ini, Sunan Gorenda dikaruniai seorang putri bernama Setyasih, yang kemudian bergelar Ratu Pucuk Umum.
Ratu Pucuk Umum menikah dengan Ki Gedeng Sumedang yang lebih dikenal dengan nama Pangeran Santri putra Pangeran Palakaran, putra Maulana Abdurahman alias Pangeran Panjunan. Perkawinan Ratu Setyasih dengan Pangeran Santri inilah agama Islam mulai menyebar di Sumedang.
Dari perkawinan dengan Pangeran Santri, Ratu Pucuk Umum atau dikenal dengan nama Ratu Intan Dewata dikaruniai 6 (enam) orang putra, salah satunya Raden Angkawijaya, yang kemudian hari bergelar Prabu Guesan Ulun.
Pada 14 Syafar Tahun Jim Akhir kerajaan Padjajaran runtag (runtuh) akibat serangan laskar gabungan Islam Banten, Pangkungwati dan Angka. Runtuhnya Kerajaan Padjajaran waktu itu tidak lantas menyeret Sumedang Larang ikut runtuh pula, karena sebagai masyarakat Sumedang pada waktu itu sudah memeluk Islam. Dengan berakhirnya Kerajaan Sumedang, justru Sumedang Larang makin berkembang menjadi kerajaan yang berdaulat penuh.
Sebelum Prabu Siliwangi meninggalkan Padjajaran mengutus empat orang Kandagalante : Jayaperkosa, Sanghyang Hawu, Terong Peot, dan Nagganan untuk menyerahkan amanat kepada Prabu Geusan Ulun, yaitu pada dasarnya Kerajaan Sumedang Larang supaya menjadi penerus Kerajaan Padjajaran Mahkota dan atribut Kerajaan Padjajaran dibawa oleh Senapati Jayaperkosa dan diserahkan kepada Prabu Geusan Ulun yang merupakan legalitas kebesaran Kerajaan Sumedang Larang sebagai penerus Padjajaran.
Prabu Geusan Ulun yang dinobatkan pada 22 April 1578 adalah merupakan Raja Sumedang Larang terakhir, karena setelah itu Sumedang Larang berada di bawah naungan Mataram. Pangeran Ariasuradiwangsa dari Sumedang Larang sebagai penerus Geusan Ulun (putra dari Ratu Harisbaya) 1620 berangkat ke Mataram, untuk menyerahkan Sumedang Larang berada dibawah naungan Mataram. Dengan demikian sejak itulah Sumeang Larang terkenal dengan nama “Priangan” artinya berserah dengan hati yang suci. Kedudukan penguasa Sumedang Larang menjadi Bupati Wedana.
Tahun 1681 Bupati Wedana Sumedang yaitu Pangeran Rangga Gempol III Kusumahdinata yang dikenal dengan sebutan Pangeran Panembahan adalah Bupati Pertama yang berani menentang pemerintahan VOC, agar kembali dari merdeka dan berdaulat untuk kemudian mempersatukan kembali daerah-daerah sebagian yang pernah dikuasai oleh Pakuan Padjajaran pada jamannya.
Tahun1811 Bupati Wedana Pangeran Kusumahdinata IX atau dikenal dengan Pangeran Kornel dengan tegas menentang kerja Rodi yang dilakukan oleh VOC (Kompeni) VOC saat itu di pimpin oleh Gubernur Jendral H.W Daendels. Kerja Rodi membuat jalan dan menelan banyak korban ini membuka sarana lalulintas Anyer-Panarukan untuk mengangkut rempah-rempah.
Peristiwa pembuatan jalan ini terkenal sebagai Peristiwa Cadas Pangeran.
Tahun 1888 Bupati Pangeran Aria suriaatmaja atau dikenal juga sebagai Pangeran Mekah mengungkapkan kepada Belanda, bahwa Belanda harus memberikan kemerdekaan bagi bangsa Indonesia/Nusantara.
Hal ini dapat diketahui melalui literatur yang beliau tulis dalam buku dengan judul: “Ditiung memeh Hujan”
Pada jaman perjuangan kemerdekaan Indonesia di Jawa Barat, sewaktu pasukan-pasukan Divisi Siliwangi kembali Hijrah, tepatnya pada tanggal 11 April 1949 terjadi peristiwa-peristiwa bersejarah di Sumedang, di Kecamatan Buah Dua dan begitu juga di Kecamatan Situraja, pertempuran melawan tentara Belanda.
Pada era pembangunann mengisi kemerdekaan Indonesia tidak sedikit putra-putri Sumedang telah mengukir namanya dalam catatan tersendiri. Dari catatan tersebut Sumedang dapat disimpulkan sebagai kota yang menyimpan nilai sejarah bangsa dan tidak mustahil Sumedang akan terus melahirkan sejarah selanjutnya.
Untuk lebih jelas dan lengkapnya dapat dilihat di kitab cariosan prabu siliwangi di Museum Prabu Guesan Ulun Sumedang.

[
7] Rujukan
“Maharadja Cri Djajabhoepathi, Soenda’s Oudst Bekende Vorst”, TBG, 57. Batavia: BGKW, page 201-219, 1915)
Sumber-sumber asli sejarah Jakarta, Jilid I: Dokumen-dokumen sejarah Jakarta sampai dengan akhir abad ke-16
Kebudayaan Sunda Zaman Pajajaran, Jilid 2, Edi S. Ekajati, Pustaka Jaya, 2005
The Sunda Kingdom of West Java From Tarumanagara to Pakuan Pajajaran with the Royal Center of Bogor, Herwig Zahorka, Yayasan Cipta Loka Caraka, Jakarta, 2007-05-20

Sabtu, 07 Februari 2009

Suku Sunda

Dari Wikipedia bahasa Indonesia, ensiklopedia bebas

Jumlah populasi
2004: kurang lebih 27 juta.
Kawasan dengan jumlah penduduk yang signifikan
Jawa Barat: 23 juta.
Banten: 3 juta.
Bahasa
bahasa Sunda, bahasa Indonesia, dan bahasa Jawa.
Agama
Sebagian besar
Islam, namun ada sedikit yang beragama Kristen, Hindu, Buddha dan Sunda Wiwitan.
Kelompok etnis terdekat
suku Jawa dan suku Betawi.

Suku Sunda adalah kelompok etnis yang berasal dari bagian barat pulau
Jawa, Indonesia, dari Ujung Kulon di ujung barat pulau Jawa hingga sekitar Brebes (mencakup wilayah administrasi propinsi Jawa Barat, Banten, sebagian DKI Jakarta, dan sebagian Jawa Tengah.
Bahasa yang digunakan oleh suku ini adalah
bahasa Sunda.

Tokoh Sunda yang terkenal
Raden Dewi Sartika, seorang pahlawan nasional
Umar Wirahadikusumah, mantan Wakil Presiden Indonesia
Ali Sadikin, mantan Gubernur DKI Jakarta
Jihan Fahira, seorang artis sinetron
Taufik Hidayat, seorang pebulutangkis kelas dunia
Mochtar Kusumaatmaja, seorang Tokoh Hukum Laut Internasional
Marty Natalegawa, seorang diplomat
Ajip Rosidi, sastrawan
Asep Sunandar Sunarya, tokoh budaya, dalang
Wimar Witoelar, politikus
Rachmat Witoelar, politikus
Marty Natalegawa, politikus
K.H. Abdullah Gymnastiar, kiyai & da'i kondang
H. Rhoma Irama, penyanyi dangdut
Hassan Wirajuda, menteri luar negeri
Mimi Rasinah, penari topeng Cirebon